UUD 1945: Pasal 34 Ayat 1

Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

Begitulah bunyi Pasal 34 Ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 amandemen ke 4. Pasal ini masuk dalam Bab XIV, tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial.

Bunyi dan susunan kata yang bagus, menurut saya. Namun sampai sekarang saya belum mendapatkan makna di dalamnya. Apakah itu hanya sebuah pelengkap isi dari UUD 1945 yang dulu saat SD ditugaskan oleh guru untuk menghafal. Atau hanya kumpulan peribahasa, pantun, puisi atau sejenisnya? Semuanya rahasia.

Tapi, menurut sumber http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45 Pasal 34 Ayat 1 ini merupakan hasil revisi dari amandemen ke 4. Artinya apa? Ya artinya adalah sudah 4 kali ayat ini dibahas oleh Yang Terhormat Wakil Rakyat yang duduk di Gedung MPR/DPR. Sebuah wujud nyata untuk mensejahterakan rakyatnya. Menuntaskan kemiskinan, menuntaskan anak-anak putus sekolah, membina anak-anak terlantar, dsb.

Sudah kita lihat hasilnya, mana ada orang miskin di sekitar kita. Mana ada gelandangan, pengemis, peminta-minta. Mana ada anak-anak yang putus sekolah, bahkan sampai mengemis di jalan.

Mau ngurusin apa lagi kalau rakyat miskin udah ga ada? Ya tinggal duduk saja di gedung wakil rakyat yang nyaman, menikmati jabatan. Jadi Bupati atau Wali Kota, ngapain harus mikirin rakyatnya. Mending anggaran buat studi banding, ke luar kota. Kalau bisa sampai ke luar negeri dong… Udah ga ada lagi sekolah yang atapnya bocor, tembok retak. Sekarang siswa dan siswi-nya sudah berpakaian rapi, berseragam dan bersepatu.

Kampreeettt…. ternyata itu cuma dongeng.!!

Ternyata balik pulang rumah tadi, masih ada juga pengemis malam-malam hujan untuk meminta. Anak-anak pula, usia SD. Mimpi buruk macam apa ini?

Sekarang tidak sedikit anak-anak mengemis di jalanan. Bahkan dari usia balita mereka diajak mengemis oleh orang tuanya. INI YANG SALAH SIAPA??? Orang tua yang salah mendidik? Lembaga pendidikan yang salah mengajar muridnya? Pemerintah yang tidak memelihara mereka? Atau memang anaknya yang sudah merasa nyaman untuk jadi pengemis?

Saat dulu masih kecil, mengemis, meminta-minta adalah sesuatu hal yang memalukan. Satu hal yang tidak boleh dilakukan, menurut saya ini adalah pekerjaan nista. Naudzubilahimindzalik.

Ah, itu cuma anak-anak. Mungkin mereka belum bisa berfikir, wajar lah.

SINGOOOOOOOOOO!!! Teryata, mampir makan di taman kuliner/ warung-warung pingir jalan, masih ada juga pengemis yang meminta-minta. Dan kali ini bukan anak-anak. Mereka adalah orang dewasa, dengan keadaan fisik yang normal dan sehat, menurut pandangan saya. Melihat keadaan fisiknya yang masih kuat, bukan rasa iba yang muncul, tapi rasa jengkel.

Lebih merasa iba, ketika di tempat itu, ada seorang laki-laki, masih muda berjalan dengan susah payah. Dengan langkah tergopoh-gopoh, pemuda itu mengantarkan minuman pesanan saya. Ia bekerja menjadi pelayan di warung pinggir jalan. Membersihkan tempat makan dan minum, serta menyucinya. Subhanallah, alhamdulillah saya diberikan keadaan yang lebih baik dari pemuda itu. (Silahkan datang ke taman kuliner GOR Klebengan, utara Fakultas Peternakan UGM)

Lihat, lihat peminta-minta tadi. Jika dibandingkan dengan pemuda ini sangatlah lebih baik keadaan fisiknya. Lalu kenapa dia tidak bekerja, memilih meminta-minta. Oh.. atau meminta-minta adalah pekerjaannya? Secara memang pendapatan mengemis lebih besar mungkin. Modal acting memelas,  untungnya puluhan ribu. Dibanding dengan penjual warung kelontong di pingir jalan, jelas jauh untungnya. Mereka modal beli dagangan puluhan ribu, untungnya 100-1000 rupiah.

Di mana rasa bersyukur atas nikmat Tuhan yang diberikan, berupa fisik yang normal dan sehat? Kenapa tidak digunakan untuk usaha yang lebih layak?

Ah, sudahlah! Sedikit muak dengan hal ini. Semoga kita dihindarkan dari perbuatan keji dan hina. Selagi kita mampu, marilah kita berusaha menjadi yang terbaik, dan mendapatkan yang terbaik. Semoga Tuhan memberkati. Amin

Sumber foto: http://31rizki.blogspot.com/2013/05/foto-essay.html

One comment

Leave a Reply